JAKARTA (BOS)–Sidang kasus dugaan merintangi penyidikan di kasus KTP elektronik (KTP-el), dengan terdakwa mantan kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi, kembali dilanjutkan di pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, pada Senin 14 Mei 2018.
Sejumlah ahli diberbagai bidang disiplin ilmu dihadirkan Frederich sebagai saksi ahli meringankan
Fredrich menanyakan mengenai pasal merintangi penyidikan yang menjerat dirinya.
Mereka antaranya ahli pidana Prof Dr. Mudzakkir., SH., MHum; dan Prof Dr Suparji, SH., MH. Ahli hukum tata negara Prof Dr. Margarito Kamis, SH., MH, serta ahli tata bahasa Prof Dr. Afdol Tharik Wastono.S.D., MHum
Ahli pidana Prof Dr. Mudzakkir mengatakan, seorang advokat jika diduga melakukan pelanggaran hukum, penyidik terlebih dahulu mengajukan Permohonan pemeriksaan Kode Etik ke Dewan Kehormatan Profesi, termohon menjalini proses sidang kode etik, jika terbukti melanggar kode etik, direkomendasikan ke Penyidik untuk diproses, jika tidak terbukti melanggar kode etik di beritahukan ke Penyidik untuk tidak dapat diproses tindak pidana yang diduga kepadanya.
“Penyidik wajib menghormati profesi advokat, seperti juga profesi Press, profesi Dokter, profesi Jaksa, Polisi bahkan Hakim juga sama, wajib terlebih dahulu diperiksa kode etiknya, tidak boleh langsung diproses Pidana,” kata Mudzakkir pada persidangan di Tipikor.
Mudzakkir menjelaskan jika sampai dianggap melanggar harusnya melalui sidang kode etik dulu. Pada, Pasal 21 UU 31/1999 bukan tindak pidana korupsi, tapi adalah tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yang tertera dalam Bab III UU No 31/1999, sedangkan Tindak Pidana Korupsi tertera dalam Bab II UU No 31/1999.
“Pasal 21 adalah masuk rana hukum pidana umum yang merupakan wewenang Polri yang menyidik dan Pengadilan Negeri Umum yang memeriksa dan mengadilinya. Bukan wewenang KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,” ujar dia.
Sementara, Pasal 21 UU No 31/1999 juga delik Materiil, harus ada akibatnya, dengan sengaja mencegah apa akibat yang timbul atas pencegahan , merintangi apa akibatnya merintangi, menggagalkan, apa kegagalan yang terjadi.
“Penuntut umum wajib membuktikannya terlebih dahulu sebelum bisa menuntut dengan Pasal 21 UU 31/1999. akibatnya karena advokat dalam menjalankan tugas membela Klein nya, mutlak tidak dapat dituntut sebagaimana Pasal 16 UU 18/2003 tentang Advokat atau yang dikenal sebagai hak imunitas advokat jo putusan MKRI no 26/2013,” papar dia.
Adapun isi pasal 16 UU 18/2003 yaitu berbunyi “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk pembelaan Klien dalam sidang Pengadilan”.
Sementara, Jontho putusan Mahkakah Konstitusi RI No 26/2013 “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk pembelaan Klien dalam sidang Pengadilan maupun diluar sidang Pengadilan” yang berhak menilai Etikad baik atau tidak adalah Organisasi Profesi advokat, bukan Penyidik/Penuntut Umum.
Mudzakkir, menambahkan KPK dan Pengadilan Tipikor hanya berwenang menyidik, menuntut dan memeriksa Tipikor, sedangkan terhadap tindak pidana lain , tindak pidana umum, dugaan adanya rekayasa kecelakaan adalah wilayah hukum Polri dan Pengadilan Negeri Umum, dan terhadap dugaan adanya rekayasa rekam medis, pesan kamar di rumah sakit, dugaan adanya permintaan diagnosa sakit adalah wilayah kode etik Majelis Dewan Kedokteran Indonesia dan Ranah pidana umum, bukan wewenang KPK maupun pengadilan tindak pidana korupsi (BAR)