JAKARTA (BOS)–Selisih penghitungan kerugian negara terkait pemberian kredit Bank Mandiri ke PT Tirta Amarta Bottling (TAB) tahun 2008-2015 terdapat sesilih Rp400 Miliar lebih. Jika sebelumnya, tim Jaksa Pidana Khusus Kejaksaan Agung melalui tim auditor yang dipercayainya, menghitung kerugian sementara hanya Rp1,4 Triliun.
Hal yang berbeda dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga resmi yang dipercaya untuk menghitung kerugian negara tersebut, memastikan kerugian negara mencapai Rp 1,83 triliun.
Apa yang menyebabkan besarnya selisih penghitungan kerugian negara tersebut terkait kasus pemberian kredit bank Mandiri ke PT TAB.
Menyingkapi hal tersebut, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, M Adi Toegarisman mengatakan perbedaan penghitungan kerugian negara tersebut terjadi lantaran adanya penghitungan pinjaman pokok dan bunga dari kreditur yang belum dibayar oleh para debitur.
“Jadi, bukan penambahan, sekarang sudah real kerugian negara menjadi Rp 1,83 triliun,”kata Adi usai menerima laporan audit BPK tersebut di Kejagung, Senin (21/05)
Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ini juga menegaskan dengan adanya kepastian penghitungan kerugian negara dari BPK, proses penyidikan tersebut, semakin utuh dan lengkap pembuktiannya dan dalam waktu dekat, pihaknya bisa menyelesaikan tahap II dan penuntutan.
Terkait kedatangan Auditor Utama Investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ke kejagung, Adi menegaskan BPK mengantarkan dokumen hasil penghitungan kerugian negara.
“Ini kelanjutan dari penanganan perkara Bank Mandiri yang telah kami lakukan penyidikan sejak beberapa waktu lalu,”tandasnya.
MAKI KRITISI PROSES PENANGANAN
Sementara itu koordinator LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI)Boyamin Saiman sempat mempertanyakan tidak transparan dalam penanganan kasus tersebut
Begitupula dengan proses penahanan kelima tersangka kasus pembobolan bank berplat merah tersebut.
Selain itu, Surya Baruna Semenguk (SBS) selaku Komersial Banking Manajer, Frans Eduard Zandra (FEZ) selaku Relationship Manager dan Teguh Kartika Wibowo (TKW) selaku Senior Kredit Risk Manajer.
“Proses penyidikan kasusnya memang tidak transparan. Kalau alasannya khawatir terburu-buru ya gak masuk akal,” ujar Koordinator MAKI, Boyamin Saiman saat dihubungi wartawan, Senin (21/05)
MAKI pun berjanji, jika kedepannya, Tim Pidsus tidak terbuka alias tidak transparan terhadap penahanan para tersangka, pihaknya akan mengajukan gugatan praperadilan.
Sampai sekarang, penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) baru PT Tirta Amarta Bottling Company (TAB) Rony Tedy dan Juventius sebagai Kepala Akuntansi PT TAB.
Namun untuk lima tersangka Bank Mandiri, Kejagung tidak pernah bersikap terbuka terhadap media yang telah memanfaatkan tiga tersangka itu.
Sementara itu, Direktur Penyidikan (Dirdik) pada Jampidsus, Warih Sadono membantahnya dan menegaskan bahwa penahanan terhadap lima tersangka pembobolan Mandiri itu sudah lama.
“Totalnya ada tujuh tersangka, dua dari PT TAB dan lima dari Bank Mandiri,” katanya.
Seperti diketahui dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan tiga tersangka dari lingkup internal bank Mandiri Cabang Bandung. Mereka adalah mantan Senior Credit Risk Manager Bank Mandiri Cabang Bandung berinisial TKW, serta SBS dan FZ. Ketiganya merupakan pengusul perpanjangan kredit PT TAB.
“Ketiga tersangka sebagai pengusul, yaitu FZ, SBS, dan TKW. Mereka pengusul perpanjangan dan tambahan kredit,”kata direktur Penyidikan Pidsus, Warih Sadono.
Sementara dari PT TAB, tersangka adalah Rony Tedi selaku Direktur dan Juventius selaku Head of Accounting.
Peristiwa bermula pada 15 Juni 2015 saat RT mengajukan permohonan perpanjangan dan tambahan fasilitas kredit kepada Commercial Banking Center PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. RT meminta diberi fasilitas perpanjangan seluruh fasilitas kredit modal kerja hingga empat kali dengan total Rp 880,6 miliar.
RT juga meminta fasilitas perpanjangan dan tambahan plafon LC sebesar Rp 40 miliar sehingga total plafon LC menjadi Rp 50 miliar. Tak hanya itu, PT TAB juga meminta fasilitas kredit investasi yang kelima (baru) sebesar Rp 250 miliar selama 72 bulan.
Permohonan kredit itu diduga menggunakan dokumen yang direkayasa seolah-olah dapat mampu membayar pinjaman. Selain itu, RT diduga menggunakan uang fasilitas kredit senilai Rp 73 miliar. Uang itu digunakan untuk kredit investasi, tetapi digunakan untuk hal lainnya.
“Bahwa debitur PT Tirta Amarta Bottling Company juga telah menggunakan uang fasilitas kredit antara lain sebesar Rp 73 miliar semestinya hanya diperkenankan untuk kepentingan kredit investasi dan kredit modal kerja, tetapi dipergunakan untuk keperluan yang dilarang dalam perjanjian kredit,”beber Warih (BAR)