JAKARTA (BOS)–Enam negara dikawasan Asia mengikuti Pelatihan Terpadu Antar Negara dengan tema “Mengantisipasi Perkembangan Kejahatan yang terkait Cryptocurrency (mata uang)” yang diselenggarakan Badan Pendidikan dan Latihan (Badiklat) Kejaksaan Agung selama 4 hari terhitung, mulai tangal 01-04 Oktober 2019.
Selain Indonesia sebagai penyelenggara pelatihan terpadu yang membahas perkembangan kejahatan terkait mata uang, negara dikawasan Asia lainnya juga mengirimkan perwakilannya. Negara tersebut adalah Singapura, Thailand, Hongkong, Australia dan Malaysia
Dalam kata sambutan Jaksa Agung HM Prasetyo yang dibacakan Wakilnya Dr Arminsyah, pelatihan Diklat Terpadu Antar Negara “Mengantisipasi Perkembangan Kejahatan yang Terkait Cryptocurrency” digelar untuk mewujudkan penegakan hukum yang sinergis dan berdampak (impactful) dalam lingkup nasional, regional, maupun internasional sekaligus menyerukan pesan kepada para pelaku kejahatan bahwa penegakan hukum tidak boleh dikalahkan oleh adanya sekat-sekat perbedaan sistem hukum dan yurisdiksi.
“Sebaliknya, keanekaragaman sistem hukum adalah kekuatan yang besar bila kita kelola dengan baik dan optimal melalui kerja sama dan koordinasi intensif yang kita lakukan bersama,” kata Jaksa Agung.
Ditegaskan Jaksa Agung pemilihan materi diklat “Cryptocurrency” dinilainya merupakan pilihan yang tepat, kontekstual, dan relevan seiring dengan semakin meningkatnya penggunaan internet dan teknologi informasi yang telah mempengaruhi dan mengubah lanskap tata ruang ekonomi, sosial, budaya, politik bahkan peradaban umat manusia.
Perkembangan Cryptocurrency saat ini, sambungnya, semakin masif mengguncang layanan keuangan dan sistem pembayaran global. Tercatat sekitar 1300 mata cryptocurrency beredar di dunia. Penggunaan cryptocurrency yang semakin masif tidak hanya menimbulkan dampak yang positif, namun juga berkorelasi dengan tumbuhnya kegiatan ilegal yang dapat melingkupinya seperti pencucian uang, transfer dana narkotika, pendanaan teroris, tindak pidana korupsi dan penggelapan pajak.
“Tidak jarang perkembangan cryptocurrency juga seringkali dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab sebagai alat atau sarana dalam melakukan kejahatan. Kejahatan menggunakan sarana cryptocurrency tidak hanya berdampak kepada negara yang melegalkan, namun juga kepada negara lain yang melarangnya mengingat jaringannya yang tanpa sekat, batas, dan bersifat globa,”ujarnya
Jaksa Agung juga menambahkan, Cryptocurrency crime saat ini berkembang semakin signifikan meskipun skala penuh penyalahgunaan mata uang virtual ini masih belum diketahui, nilai pasarnya pada tahun 2018 dilaporkan telah melebihi EUR 7 miiliar di seluruh dunia.
Untuk itu, Jaksa Agung mengingatkan semua peserta tidak ada waktu lagi bagi penegak hukum untuk diam atau berleha-leha. Perkembangan teknologi dan kejahatan cryptocurrency yang mengikutinya akan selalu bertumbuh, meninggalkan setiap siapa yang terlambat untuk mengantisipasi dan mengadopsinya. “Kejahatan cryptocurrency yang bersifat lintas negara haruslah dipandang sebagai musuh bersama (common enemy), oleh karenanya tidak dapat disikapi maupun dihadapi secara parsial oleh masing-masing negara melainkan haruslah dicegah, diperangi, dan diberantas secara holistik dan bersama-sama,”tegas Jaksa Agung.
Dengan adanya pelatihan terpadu ini, Jaksa Agung berharap akan terjalin koordinasi yang dibangun bukan semata-mata bersifat formal melalui ekstradisi dan MLA, tetapi juga melalui kerja sama non-formal, prosecutor to prosecutor, police to prosecutor, maupun customs to prosecutor, saling membantu dalam bentuk penyampaian informasi, data, saran, dan pemberian fasilitas kemudahan ketika saling memerlukan.
Ditempat yang sama, Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia, Setia Untung Arimuladi mengungkapkan selain diikuti lima negara dikawasan Asia, pelatihan terpadu juga diikuti peserta dari dalam negeri terdiri atas 16 orang Kepala Kejaksaan Negeri, satu orang dari Ditjen Pajak, dan satu peserta dari Otjen TNI, dan satu orang dari Bank Indonesia (REN)