BeritaObserver.Com, Jakarta–Kejaksaan Agung melalui Tim Jaksa pnyidik Pidana Khusus memeriksa Direktur Utama PT Makassar Tene, sebagai saksi kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015 sampai dengan 2016.
“Adapun saksi yang diperiksa berinisial AH selaku Direktur Utama PT Makassar Tene, terkait dengan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015 sampai dengan 2016 sebagai saksi,”kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Rabu (19/3)
Harli menegaskan saksi dimintai keteranganya untuk berkas tersangka atas nama Tersangka TWN dkk
“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,”pungkas Harli.
Seperti diketahui dalam kasus dugaan korupsi impor gula ini, Kejagung menetapkan 11 orang tersangka. Mereka adalah Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Trikasih Thomas Lembong atau Tom Lembong, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI), Charles Sitorus (CS), Direktur Utama (Dirut) PT AP, TWNG Presiden Direktur (Presdir) PT AF, WN Direktur Utama (Dirut) PT SUJ, AS Direktur Utama PT MSI, IS Direktur PT MP, TSEP Direktur PT BSI, HA Direktur Utama (Dirut) PT KTM dan ASB Direktur Utama (Dirut) PT BFMHFH Direktur PT PDSU, ES.
Ditegaskan Abdul Qohar kesembilan tersangka ditetapkan penyidik setelah menemukan dua alat bukti permulaan yang cukup.
Hal tersebut terungkap dari hasil pengembangan kasus dugaan korupsi yang lebih dulu membelit mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI), Charles Sitorus.
Abdul Qohar menjelaskan, kesembilan perusahaan tersebut dapat melakukan impor gula kristal mentah (GKM) untuk diolah menjadi gula kristal putih (GKP) karena mendapat persetujuan dari Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong selaku Mendag saat itu.
Qohar menegaskan berdasarkan Rapat Koordinasi (Rakor) antar kementerian tanggal 12 Mei 2015, telah disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak membutuhkan impor.
Akan tetapi, pada tahun 2015, Mendag Thomas Lembong memberikan izin Persetujuan Impor (Pl) GKM untuk diolah menjadi GKP.
Pemberian izin impor kepada 9 perusahaan tersebut menyalahi aturan. Pasalnya, sesuai Keputusan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004, yang diperbolehkan impor GKP adalah BUMN yang ditunjuk.
Selain itu, persetujuan impor GKM tersebut tidak melalui Rakor dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) guna mengetahui kebutuhan gula dalam negeri.
Selanjutnya, Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, Charles Sitorus, memerintahkan Staf Senior Manager Bahan Pokok PT PPI untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan gula swasta.
Kedelapan perusahaannya yakni PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI. Pertemuan berlangsung di Gedung Equity Tower, SCBD, Jakarta Selatan (Jaksel), sebanyak empat kali.
“Pertemuan guna membahas rencana kerja sama impor GKM menjadi GKP antara PT PPI dan delapan perusahaan gula swasta, yang juga atas sepengetahuan dan Direktur Utama PT PPI saat itu,” ujarnya.
Pada bulan Januari 2016, Thomas Lembong menandatangani Surat Penugasan kepada PT PPI untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula, melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk memasok atau mengolah GKM impor menjadi GKP sebanyak 300 ribu ton.
“Penugasannya baru belakangan setelah dilakukan rapat 4 kali untuk ditunjuk sebagai impor gula,” katanya.
Selanjutnya, PT PPI membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan gula swasta ditambah satu perusahaan swasta lainnya yaitu PT KTM.
Abdul Qohar mengungkapkan, meskipun seharusnya dalam rangka pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung dan yang dapat melakukan impor hanya BUMN, yang ditunjuk, dalam hal ini PT PPI.
Atas sepengetahuan dan persetujuan Thomas Lembong, Persetujuan Impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta.
“Sebelum ada penandatangan kontrak, ke-8 perusahaan tersebut sudah diundang lebih dahulu, sudah diberitahu bahwa mereka nanti yang akan melakukan pengadaan gula kristal mentah,” ujarnya.
Seharusnya, lanjut Abul Qohar, untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga gula nasional, yang diimpor adalah GKP secara langsung.
“Selain itu, Persetujuan Impor dari Kemendag diterbitkan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian dan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait,” ujarnya.
Perusahaan swasta yang mengolah GKM menjadi GKP itu, hanya memiliki izin industri sebagai produsen Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang diperuntukkan bagi industri makanan, minuman, dan farmasi.
Setelah perusahaan swasta tersebut mengimpor dan mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut, padahal gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta kepada masyarakat melalui distributor dengan harga Rp16.000 per kg, lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp13.000 per kg, dan tidak dilakukan melalui operasi pasar
“Dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP, PT PPI mendapatkan fee dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengolah GKM sebesar Rp105 per kg,” tandasnya.
Akibat perbuatan tersebut negara mengalami kerugian sebesar Rp578.105.411.622,47 atau lebih dari setengah triliun rupiah sehingga memenuhi unsur tindak pidana korupsi.
“[Kerugian keuangan negaranya] adalah Rp578.105.411.622,47,” kata Abdul Qohar.
Pada awalnya sambung Qohar, kerugian keuangan negara sekitar Rp400 miliar saat itu, didapat setelah Pihaknya melakukan gelar perkara bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Dituangkan dalam risalah hasil ekspos, sehingga kami yakin, setelah kami ekspos dengan BPKP waktu itu ditemukan kerugian sekitar Rp400 milir,”ujarnya
Jumlah kerugian negara akhirnya bertambah menjadi sebesar Rp578 miliar setelah BPKP melakukan penghitungan.
Para tersangka dijerat Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 juncto UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP (REN)