
Apalagi, lanjutnya, pengadaan pesawat Grand Karebo senilai Rp 146 Miliar, diduga bersumber dari APBD kabupaten Puncak pada Dinas perhubungan kabupaten Puncak Provinsi Papua tahun anggaran 2016 yang dibayar 100%.
Selain itu, dalam pengangaran APBD Kabupaten Puncak pembelian peswat untuk pembelian pesawat penumpang dan chargo tapi pada kenyataannya pesawat ini hanya memiliki izin operasional peswat pribadi atas nama PT ALVA bukan atas nama pemerintah Daerah Kabupaten puncak.
“Ini tidak sesuai dengan tujuan pengadaan,”tukasnya
Pria berjanggut lebat ini menduga, pengadaan anggaran dan pembelian pesawat Grand Karebou menyalahi ketentuan. Alasannya, pengadaan barang dan jasa karena untuk dapat dilakukan perubahan kontrak hanya berlaku untuk pengadaan barang yang mengunakan hara satuan.
Arnold juga menduga kontrak penggadaan pesawat mengunakan lansam kedua perubahan kontrak hanya dimungkinkan untuk kontrak yang jangka waktunya lebih dari 1 tahun. Sementara penggadaan pesawat ini kontraknya hanya 6 bulan.
Arnold juga mempertanyakan kebenaran adanya informasi terkait dana 30 miliar yang diperuntukkan untuk jasa konsultan hukum.
“Karena itulah, kami mendesak agar Kejagung agar penanganan perkara ini, dilakukan dengan serius. Apalagi, sudah beberapa orang yang diperiksa tim Penyidik dari gedung Bundar, termasuk Bupati Puncak Papua, Willem Wandik, tapi hingga saat ini kasusnya belum jelas,”ujarnya.
Sebelumnya, Mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Peduli Pembangunan Papua (FMPPP) sudah berulangkali berunjukrasa di Kejagung. Mereka menuntut Kejagung agar mengusut perkara tersebut dengan serius.
Selain menyambangi Kejagung, FMPPP juga mengaku sudah melaporkan kasus tersebut ke Badan Reserse Kriminal (Bareskim) Mabes Polri (BAR)