JAKARTA (BOS)–Sidang lanjutan kasus dugaan penistaan Agama terkait Surat Almaidah 51 dengan terdakwa gubernur Non Aktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang berlokasi di Gedung Kementrian Kehutanan jl Harsono, Ragunan, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Selasa (31/01/2017)
Sidang kali ini, masih mendengarkan keterangan para saksi yang dihadirkan jaksa Penuntut Umum yang diketuai, Ali Mukartono berjumlah 5 orang saksi. Salah satunya, Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ma’uf Amin selaku pihak yang mengeluarkan Fatwa terkait ucapan Ahok di Kepulauan Pramuka, kepulauan.
Hal tersebut diungkapkan kuasa hukum, Ahok, Humprey Djemaat, bahwa sidang lanjutan yang ke delapan ini, Jaksa akan meminta keterangan Ketua MUI Ma’ruf Amin, anggota KPUD DKI Jakarta, Zainuddin, dan dua orang nelayan Kepulauan Seribu yaitu Sahfudin alias Beni, dan Dahlia.
“Kelihatannya (Ma’ruf Amin) itu yang pertama akan didengarkan,”kata salah satu pengacara Ahok, Humphrey R Djemat kepada wartawan, Senin (30/1/2017) malam.
Selain kelima saksi tersebut, kuasa hukum Ahok lainnya, berharap agar Ibnu Baskoro selaku pihak yang melaporkan Ahok terkait dugaan Surat Almaidah 51 diharapkan hadir dalam persidangan guna didengar keteranganya sebagai saksi lantaran laporannya, Ahok ditetapkan menjadi tersangka.
Namun, terkait hadir atau tidaknya, Ibnu Baskoro, kubu Ahok belum bisa memastikannya.
Seperti diketahui, kasus hukum yang menjerat Ahok berawal ketika melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu. Saat itu Ahok berpidato tentang program Pemprov DKI Jakarta. Dia sempat bercerita tentang pengalamannya saat terkena kampanye hitam yang mencatut sebuah surat dalam kitab suci Alquran.
Perkataannya inilah yang diduga menista agama. Potongan videonya pun viral di media sosial. Jutaan umat Islam turun ke jalan menggelar aksi 411 dan 212 di Bundaran Hotel Indonesia (HI) dan Silang Monas. Mereka menuntut dugaan penistaan agama disidangkan dan Ahok dihukum seadil-adilnya. Ahok pun maju ke meja hijau.
Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia (BAR) foto: Twitter