BeritaObserver.Com, Jakarta–Tim Jaksa Agung Muda Pidana terus mengusut dugaan keterlibatan pihak lain dan penyebab terjadinya kasus dugaan tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, sub-holding dan kontraktor kontrak kerja sama pada periode 2018-2023 yang merugikan keuangan negara Rp193,7 triliun
“Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) memeriksa BG selaku Koordinator Hukum pada Sekretariat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai saksi, terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) tahun 2018 sampai dengan 2023,”kata kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar dalam siaran persnya yang diterima, Rabu (5/3)
Selain BG, Harli Siregar mengungkapkan penyidik Pidsus juga memeriksa Koordinator Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas pada kementerian ESDM berinisial EED dan 7 saksi lainnya.
Mereka adalah, BMT selaku Manager Performance & Governance PT Kilang Pertamina Internasional, TM selaku Senior Manager Crude Oil Supply PT Kilang Pertamina Internasional, AFB selaku Manager Research & Pricing PT Pertamina Patra Niaga, MR selaku Director of Risk Management PT Pertamina Internasional Shipping, BP selaku Director of Crude and Petroleum Tanker PT Pertamina International Shipping, AS selaku Director of Gas Petrochemical and New Business PT Pertamina International Shipping, LSH selaku Manager Product Trading ISC periode 2017 sampai dengan 2020 atau Manager SCMDM pada Direktorat Logistik dan Infrastruktur PT Pertamina (Persero).
“Kesembilan saksi diperiksa atas nama Tersangka YF dan kawan-kawan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,”pungkasnya
Seperti diketahui tim penyidik yang dipimpin Jampidsus Febrie Adriansyah
menetapkan sembilan tersangka mega korupsi Minyak mentah di PT Pertamina
Mereka adalah Dirut Utama PT Pertamina Patra Niaga berinisial RS, Direktur Utama PT Pertamina International Shoping berinisial YS dan SDS selaku Direktur Feed stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; DW, selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim dan YRJ, selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Mera dan AP selaku VP Feed stock Management PT Kilang Pertamina International.
Direktur Penyidikan Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar menegaskan bahwa kasus tersebut menimbulkan kerugian Rp193,7 Triliun
Adapun kerugian bersumber dari komponen antara lain Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 triliun, Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun, Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun.
“Termasuk kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun dan Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun. Total seluruhnya sebesar Rp 193,7 triliun,”beber Qohar.
Qohar mengungkapkan, kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh fakta adanya pemufakatan jahat (mens rea) antara Penyelenggara Negara (Tersangka SDS, Tersangka AP, Tersangka RS, dan Tersangka YF) bersama DMUT/Broker (Tersangka MK, Tersangka DW, dan Tersangka GRJ) sebelum tender dilaksanakan dengan kesepakatan harga yang sudah diatur yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara.
Pemufakatan tersebut, sambungnya diwujudkan dengan adanya tindakan (actus reus) pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan DMUT/Broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi (Spot) yang tidak memenuhi persyaratan.
Dimana Tersangka RS, Tersangka SDS dan Tersangka AP memenangkan DMUT/Broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.
Kemudian Tersangka DM dan Tersangka GRJ melakukan komunikasi dengan Tersangka AP untuk dapat memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari Tersangka SDS untuk impor minyak mentah dari Tersangka RS untuk impor produk kilang.
Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92, padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan.
Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, lanjut Qohar, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh Tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13% s.d. 15% secara melawan hukum sehingga Tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.
Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Index Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN.
Para Tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (REN)