JAKARTA (BOS)– Untuk kedua kalinya, bekas Gubernur Bank Indonesia Agus Dermawan Wintarto Martowardojo kembali tidak memenuhi panggilan tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna menjalani pemeriksaan dirinya sebagai saksi terkait dugaan korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berbasis elektronik untuk tersangka Irman, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Yang bersangkutan, ADWM (Agus Dermawan Wintarto Martowardojo-red) telah mengirimkan surat pemberitahuan, dirinya tidak bisa menghadiri panggilan kami untuk diperiksa sebagai saksi,”kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati Iskak di Jakarta, Selasa (25/10).
“Iya benar, sudah mengirimkan pemberitahuan dan minta dijadwal ulang 1 November,” ujar Yuyuk saat dikonfirmasi, Selasa (25/10).
Ditegaskan Yuyuk, Agus diperiksa lantaran saat proyek tersebut berlangsung dirinya merupakan pihak yang mengetahui ataupun menyetujui penganggaran proyek e-KTP. Karena sebagai mantan menteri keuangan saat proyek itu berjalan, Agus diduga mengetahui proses penganggaran pada proyek yang bernilai triliunan rupiah tersebut. Yang berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), negara mengalami kerugian Rp2 triliun dari proyek bernilai Rp6 triliun tersebut.
Selain Agus, KPK juga memeriksa beberapa saksi lain, diantaranya, Sekretaris Ditjen Dukcapil Drajat Wisnu Setyawan, Kabag Fasilitas Pelayanan Publik PT Sucofindo Nur Efendi, karyawan Perum Percetakan Negara Agus Eko Priadi, serta Staf Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT Husni Fahmi. Sebelumnya diperiksa juga anggota DPR Agun Gunandjar.
Dalam kasus ini, tim penyidik KPK telah menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek E-KTP. Keduanya yakni, mantan Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen dalam proyek pengadaan e-KTP Sugiharto. Keduanya berperan sebagai pejabat pembuat komitmen dalam proyek senilai Rp6 triliun.
KPK menyangka keduanya melanggar Pasal 2 Ayat (1) subsider Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaiamana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUH
Berdasarkan informasi dari sumber di KPK, proyek tersebut tidak memiliki kesesuaian teknologi yang dijanjikan pada kontrak tender dengan yang ada di lapangan. Satu diantara ketidaksesuaian itu menyangkut alat pemindai. Dalam kontrak tender, konsorsium menjanjikan iris technology (pemindai mata), namun dalam pelaksanaannya hanya menggunakan finger print (sidik jari). Sehingga sesuai perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), merugikan negara sebanyak Rp2 triliun.